TERIAKAN BERDARAH #1
Pernah terbayang dalam benakku apa yang dirasakan pasien saat koma. Mereka hanya tergeletak di tempat tidur, tidak menggerakkan anggota tubuh sama sekali. Apa yang mereka pikirkan pada saat itu? Pertanyaanku itu terjawab oleh apa yang aku alami saat ini. Aku ingin bergerak, aku ingin membuka mataku. Tak ada yang bisa kulakukan, aku seperti setengah sadar. Sekeliling tubuhku terasa hangat. Terasa genangan air membasahi punggungku. Sepertinya aku tergeletak di atas genangan air.
Cukup lama aku berusaha untuk membuka mataku. Kehangatan yang aku rasakan menjadi panas, sangat panas! Aku tak tahan dengan panas yang membakar diriku! Aku tersentak dan akhirnya aku bisa membuka mata untuk melihat dunia luar. Api panas menjalar di dinding-dinding rumahku. Darah menggenangi lantai yang kududuki. Darah?
Setetes darah jatuh di hidungku. Aku mencoba untuk menatap langit-langit rumahku. Tampak tiga sosok tergantung. Sepertinya aku mengenali mereka. AYAH, IBU, KAKAK! Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Kail pancing menusuk kepala mereka. Mulut menganga, digenangi darah merah kental. Terlihat luka sayat pada leher. Mengalir darah segar dari mulut dan sayatan pada leher mereka. Mataku terbelalak, saat mengamati kail pancing yang menusuk kepala mereka. Kail pancing itu tidak menusuk kulit kepala, melainkan otak. Mereka tidak memiliki tempurung kepala, otak mereka terlihat berdenyut mengeluarkan darah tertusuk kail pancing yang besar. Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan mereka!
Air mata membasahi wajahku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Keluargaku yang selama ini menemani hidupku terbunuh secara tidak wajar, terjebak dalam kobaran api. Apa yang harus aku lakukan! Aku mencoba untuk menatap mata ayah, berharap masih ada nyawa di tubuhnya. Tak terlihat tatapan mata manis ayah. Dia terlihat menangis, air mata darah. Tangan ayah mengepal, menggenggam sesuatu.Tangannya lalu terbuka, membuka telapak tangannya dan menjatuhkan sesuatu yang digenggamnya. Aku menangkapnya, dan itu adalah sepasang bola mata ayahku….
Cukup lama aku berusaha untuk membuka mataku. Kehangatan yang aku rasakan menjadi panas, sangat panas! Aku tak tahan dengan panas yang membakar diriku! Aku tersentak dan akhirnya aku bisa membuka mata untuk melihat dunia luar. Api panas menjalar di dinding-dinding rumahku. Darah menggenangi lantai yang kududuki. Darah?
Setetes darah jatuh di hidungku. Aku mencoba untuk menatap langit-langit rumahku. Tampak tiga sosok tergantung. Sepertinya aku mengenali mereka. AYAH, IBU, KAKAK! Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Kail pancing menusuk kepala mereka. Mulut menganga, digenangi darah merah kental. Terlihat luka sayat pada leher. Mengalir darah segar dari mulut dan sayatan pada leher mereka. Mataku terbelalak, saat mengamati kail pancing yang menusuk kepala mereka. Kail pancing itu tidak menusuk kulit kepala, melainkan otak. Mereka tidak memiliki tempurung kepala, otak mereka terlihat berdenyut mengeluarkan darah tertusuk kail pancing yang besar. Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan mereka!
Air mata membasahi wajahku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Keluargaku yang selama ini menemani hidupku terbunuh secara tidak wajar, terjebak dalam kobaran api. Apa yang harus aku lakukan! Aku mencoba untuk menatap mata ayah, berharap masih ada nyawa di tubuhnya. Tak terlihat tatapan mata manis ayah. Dia terlihat menangis, air mata darah. Tangan ayah mengepal, menggenggam sesuatu.Tangannya lalu terbuka, membuka telapak tangannya dan menjatuhkan sesuatu yang digenggamnya. Aku menangkapnya, dan itu adalah sepasang bola mata ayahku….
Komentar
Posting Komentar